Baru Hidup Bersama GMKI
Awalnya, beberapa temanku sedikit kaget dengan keputusanku untuk masuk Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Tidak ada pemikiran, bahkan tidak ada niat sama sekali sebelumnya untuk bergabung dengan organisasi ini. Karena dari namanya (GMKI) saja sudah mengusung salah satu unsur yang paling tidak aku suka, yaitu agama –tidak peduli dengan agama apapun itu.
Aku memang lahir di keluarga Kristen dan secara status di KTP masih Kristen, tapi aku merasa tidak beragama, ya, jangankan beragama, bertuhan saja aku belum bisa. Aku memang belum bertuhan, tapi bukan berarti aku seorang ateis, aku menggolongkan diriku sendiri sebagai agnostik, di mana aku masih menunda kepercayaanku akan ada atau tidak adanya eksistensi Tuhan itu sendiri. Belum bertuhan bukan berarti aku tidak akan bertuhan pada nantinya, siapa yang tahu? (Mungkin hanya Tuhan yang tahu).
Menariknya, meski aku seorang agnostik, GMKI ini tidak menutup dan mengeksklusifkan dirinya sebagai organisasi yang hanya untuk mahasiswa beragama dan beriman Kristen saja. Dengan tangan terbuka, mereka menerima aku sebagai anggotanya, bukan sekedar anggota organisasi, tapi lebih pada anggota keluarga. Di sini, aku tidak lagi dinilai dari agama, suku, gender, dan usiaku. Tapi lebih dilihat sebagai seorang manusia, yah, itulah yang namanya memanusiakan manusia.
Bagaimanapun setiap manusia memiliki iman mereka sendiri-sendiri, dan itu tidak bisa diganggu gugat. Meskipun sama-sama dari kelompok agama yang sama, tetap ada kemungkinan bahwa keimanan mereka berbeda-beda, entah itu iman yang seperti apa, kenapa bisa mengimani itu, dan bagaimana cara mengimaninya? Semua memiliki pengalaman imannya sendiri –itulah yang aku sebut sebagai perjalanan spiritual, bukankah setiap manusia akan mengalaminya?
Pengalaman “kemasukkan” anggota dari luar agama Kristen, bukan hanya saat aku masuk saja. Ada cerita bahwa dulu di Salatiga pernah ada orang Muslim yang ikut aktif mengembangkan diskusi di GMKI Salatiga. Sayangnya aku tidak tahu siapa namanya, karena itu sudah terjadi cukup lama, tapi yang jelas itu pernah terjadi, dan kalau tetap tidak percaya, silahkan cari sendiri di arsip-arsip GMKI yang pastinya begitu banyak. Hahaha.
Dan sebenarnya, keterbukaan macam inilah yang membentuk salah satu alasanku bergabung. Mengapa? Karena aku suka yang buka-bukaan. Hahaha. Maaf, keceplosan. Maksudku lebih dilihat dari sudut pandang pendidikan. Pendidikan yang bagaimana? Ya, pendidikan yang semua-mua, entah pendidikan organisasi-kah, pendidikan pluralisme-kah, bahkan pendidikan romantisme juga ada. Lengkap ‘kan? Jadi bagaimana model pendidikan di GMKI ini?
Belajar di sini tidak akan membosankan, karena suasana dan topik pembelajarannya bukan melulu mengenai organisasi, kader, politik, dan tetek-bengek semacamnya. Pendidikan pluralisme pun aku dapatkan secara otomatis, ketika aku mengauli dan digauli setiap harinya oleh orang-orang dari berbagai latar belakang yang berbeda. Ketika hidup sama-sama senang ketika ada rejeki, hidup sama-sama susah ketika akhir bulan mencekik perut. Dan ketika saling bertukar kebudayaan, dari kata-kata makian untuk keakraban, sampai informasi mengenai kearifan lokal masing-masing. Atau ketika berdiskusi membicarakan semua hal yang bisa diperbincangkan, mulai dari filsafat yang (aku lihat) cenderung dibenci, hingga percintaan orang muda yang paling aku gemari.
Jadi, apa saja yang aku lakukan dan dapatkan dari GMKI selama beberapa bulan ini setelah aku masuk? Ya, yang seperti aku tuliskan di atas nah. Tidak percaya (lagi)? Silahkan cari sendiri ketika masuk GMKI. Hahaha.